Semesta
“Aku ngga minta banyak, Sa…”
“Ingat aku sekali-kali aja kalau aku udah ngga ada.”
Angkasa tidak tahu kalau itulah ucapan terakhir yang disampaikan Semesta kepadanya. Mana bisa ia melupakan Semesta. Semesta sudah menjadi poros dalam hidupnya selama ini. Semesta yang paling mengerti, Semesta yang selalu mendengarkan, yang selalu ada tapi tidak pernah bisa ia miliki.
Tidak pernah sedetik pun Angkasa tidak mencintainya. Semesta tahu perasaannya. Tapi sayang sekali tidak pernah ia balas. Semesta selalu menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat. Ia seolah sudah menutup hatinya untuk siapapun, termasuk Angkasa yang nyata, ada, dan mencintainya. Bukan karena takut akan merusak persabahatan mereka, tapi karena ia memiliki alasan lain yang enggan ia ceritakan.
Selama ini, jauh di dalam hatinya, Semesta menyimpan perasaannya.
“Kenapa ngga dibales aja sih, Ta?” tanya Sarah, sahabatnya.
Semesta hanya menggeleng, mendengar pertanyaan Sarah.
“Ngga bisa.” jawabnya singkat.
“Bukannya cuma dia yang bisa bikin lo lebih hidup, Ta?” serbu Sarah.
“Iya. Tapi aku yang ngga bisa bikin dia hidup.”
“Ta, hidup lo boleh cuman tinggal beberapa bulan lagi. But who knows? Justru karena hidup lo ngga lama lagi, lo harus bener-bener hidup. Sama orang yang lo sayang.”
Semesta menoleh dan tersenyum tipis mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. Mungkin Sarah benar. Ia menimbang-nimbang.
Semesta tidak sakit. Ia baik-baik saja. Seperti motto yang selalu dipegangnya kalau selama ia masih bernapas berarti ia baik-baik saja. Tidak peduli kalau obat adalah makanan sehari-harinya.
“Pain is inevitable, suffering is optional.” Semesta selalu teringat pernyataan dari penulis Jepang favoritnya itu. Ya, tidak peduli sesakit apapun. Ia bisa memilih untuk terus maju atau lemah tak berdaya menunggu ajal. Semesta memilih yang pertama, dan akan selalu begitu.
Tepat setelah lima hari ia memutuskan untuk menghilang dari Angkasa, Semesta pergi. Meninggalkan tanya yang besar untuk Angkasa. Ia selama ini tidak tahu kalau Semesta sakit. Ketika tidak ada kabar berminggu-minggu ternyata Semesta sedang berobat. Semestanya sudah pergi.
“Selamat jalan, Ta. Aku ngga akan inget kamu sekali-kali, tapi setiap waktu. Semoga kita cepet ketemu.” bisik Angkasa, menahan tangis di pusara sahabat yang dicintainya itu.